Entri Populer

Senin, 06 Desember 2010

hadits tentang larangan banyak bertanya


I.                   PENDAHULUAN
Sesungguhnya banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan pekerjaan tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga dia bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan AlQuran dan as-Sunnah. Sebab yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena sudah terlalu jauh dari keduanya.
 Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja, terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka. [1]
II.                PEMBAHASAN

عَلَيْكُمْ اللَّهُ فَرَضَ قَدْ النَّاسُ أَيُّهَا فَقَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ  خَطَبَنَا قَالَ هُرَيْرَةَ أَبِى عَنْ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ فَقَالَ ثَلَاثًا قَالَهَا حَتَّى فَسَكَتَ اللَّهِ رَسُولَ يَا عَامٍ أَكُلَّ رَجُلٌ فَقَالَ فَحُجُّوا الْحَجَّ قَبْلَكُمْ كَانَ مَنْ هَلَكَ إِنَّمَا تَرَكْتُكُمْ مَا ذَرُونِي قَالَ ثُمَّ اسْتَطَعْتُمْ وَلَمَا جَبَتْ لَوَ نَعَمْ  قُلْتُ لَوْ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ نَهَيْتُكُمْ وَإِذَا اسْتَطَعْتُمْ مَا مِنْهُ ا فَأْتُو بِشَيْءٍ  أَمَرْتُكُمْ فَإِذَا أَنْبِيَائِهِمْ عَلَى وَاخْتِلَافِهِمْ  سُؤَالِهِمْ بِكَثْرَةِ فَدَعُوهُ شَيْءٍ عَنْ
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
Hai manusia allah telah mewajibkan kalian haji, maka berhajilah kalian semua. seorang laki-laki bertanya pada Rasul, apakah setiap tahun wahai rasul? Dan Rasulpun diam sehingga laki-laki itu bertanya sampai tiga kali, kemudian rasul menjawab: ”Jika saya bilang iya maka wajib dan apakah kalian bisa?" Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka jika saya (Rasul) memperintahkan untuk melakukan sesuatu pada kalian maka lakukanlah semampu kalian, jika aku melarang untuk melakukan sesuatu maka tinggalkanlah". (H.R. Muslim). [2]

      Setidaknya terdapat tiga masalah yang dibicarakan para ulama seputar hadits diatas, yaitu: pertama, masalah bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi. Kedua, masalah keutamaan meninggalkan al-Muharramât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah. Ketiga, masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan tetapi hanya mampu melakukan sebagiannya saja.

Masalah bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi

      Yang dimaksud dengan bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat tersebut adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dilontarkan karena bisa saja hal tersebut berakibat jelek terhadap si penanya sendiri, begitu juga dengan masalah bertanya tentang hal-hal yang sebenarnya belum terjadi namun diperkirakan akan terjadi.

Sebab-Sebab dibencinya banyak bertanya perihal yang tidak bermanfaat

       Diantara sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah ; Pertama, karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar'i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita'ati), seperti pertanyaan tentang apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak ?. Dalam sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad dan ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : 
"Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka lantaran pertanyaannya hal itu (kemudian) diharamkan ".

      Berkaitan dengan hadits ini, ada yang berpendapat bahwa hal itu khusus pada zaman Rasul saja, sedangkan setelah beliau wafat, hal itu bisa terhindarkan. Namun bukan lantaran itu saja sebenarnya sebab dibencinya bertanya tentang hal itu, tetapi ada sebab lainnya yaitu, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ucapan Ibnu 'Abbas, bahwa seluruh permasalahan agama yang diperlukan oleh kaum Muslimin pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam KitabNya dan telah disampaikan oleh RasulNya sehingga tidak perlu lagi seseorang mengajukan pertanyaan sebab Allah Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya; sesuatu yang didalamnya diperuntukkan bagi kemaslahatan dan mendapatkan hidayah buat mereka yang tentunya Allah pasti menjelaskannya sebelum adanya pertanyaan , sebagaimana Allah berfirman : 
3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs?
"…..Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat..". [3]

Maka oleh karenanya tidak diperlukan lagi pertanyaan tentang apapun apalagi sebelum terjadinya dan sebelum kebutuhan akan hal itu, akan tetapi keperluan yang sesungguhnya adalah bagaimana memahami apa yang telah diinformasikan oleh Allah dan RasulNya, kemudian mengikuti dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam sering ditanyai beberapa masalah maka beliau langsung merujuknya kepada AlQuran; seperti tatkala beliau ditanya oleh Umar tentang pengertian "al-Kalâlah", maka beliau menjawab dengan sabdanya :"cukup bagimu (dalam masalah ini/al-Kalâlah) ayat ash-Shaif". (H.R. Muslim dan Ibnu Majah).
      Kedua, ditakutkan bahwa dengan pertanyaan itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Li'an ; yaitu pertanyaan seseorang kepada Nabi perihal sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin akan terjadi terhadap keluarganya dan ternyata lantaran pertanyaan itu hal tersebut benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan at-Turmuzi dan Shahih Ibnu Hibban).
      Jadi, bila himmah/keinginan si pendengar begitu mendengar perintah dan larangan hanya diarahkan kepada penciptaan masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan terjadi dan kemungkinan tidak terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam larangan tersebut yang dibenci untuk bertanya-tanya tentangnya sebab hal itu malah akan mematahkan semangat untuk mengikuti perintah tersebut. Dan hal ini pula yang menyebabkan Ibnu 'Umar memarahi seseorang yang bertanya kepadanya tentang hukum menyalami hajar aswad, maka lantas hal itu dijawab oleh Ibnu 'Umar : "aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya". Orang tersebut berkata kepadanya : bagaimana jika aku tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ? bagaimana jika sedang dalam keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu 'Umar menjawab :"jadikan ungkapanmu 'bagaiman jika' itu di negeri Yaman saja !(barangkali si penanya ini berasal dari negeri Yaman yang memang penduduknya suka membuat pernyataan semacam itu atau hal semacam itu merupakan kebiasaan yang ada di negeri Yaman), aku telah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya ". (dikeluarkan oleh at-Turmuzi). Maksud Ibnu Umar dalam riwayat tersebut adalah bahwa jadikanlah keinginanmu semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan bayangan-bayangan kemungkinan tidak dapat melaksanakan hal itu atau lantaran sulitnya melakukan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. [4]
Masalah keutamaan meninggalkan al-Muharamât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.

      Diantara masalah lain yang dibicarakan para ulama berkaitan dengan hadits diatas (yang kita bicarakan), adalah masalah keutamaan meninggalkan al-muharramât atas perbuatan ta'at . Secara zhahirnya, yang dimaksud dengan perbuatan ta'at disini adalah perbuatan ta'at yang bersifat sunnah (bukan wajib). Sedangkan inti dari pembicaraan mereka tentang hal ini adalah bahwa menjauhi/meninggalkan al-muharramât (hal-hal yang diharamkan) meskipun sedikit lebih utama daripada memperbanyak perbuatan-perbuatan ta'at yang bersifat sunnah, karena hal itu (menjauhi/meninggalkan al-muharramât) adalah wajib sedangkan mengerjakan keta'tan yang sunnah itu hukumnya adalah sunnah.

      Masalah ini dapat disimpulkan dari potongan hadits diatas (yang kita bahas ini) yaitu dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam :
"Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka datangkanlah/lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian". [5]

 Dalam hal ini, sebagian ulama berkata : "Dari potongan hadits diatas diambil kesimpulan bahwa larangan adalah lebih keras dari perintah, karena tidak pernah ada keringanan/rukhshah dalam melakukan suatu larangan sedangkan perintah selalu dikaitkan dengan istithâ'ah (kemampuan) dalam melakukannya". Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Ahmad.

Masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan dan hanya mampu melakukan sebagiannya
Dalam masalah ini, orang tersebut harus melakukan apa yang mungkin untuk dilakukannya. Kemudian masalah ini berkembang kedalam pembahasan masalah yang terkait dengan masalah-masalah fiqih, seperti thaharah, shalat, zakat fitrah, dan lain-lain. [6]

III.             KESIMPULAN
·         Anjuran untuk melakukan perintah Rasulullah sesuai dengan kemampuan yaitu dengan memberikan perhatian yang penuh terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, berijtihad dalam memahaminya, mengetahui makna-maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam amaliah sehari-hari.
·         Para Salaf sangat berhati-hati dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak perlu dan masih berpretensi kemungkinan akan terjadi bahkan cenderung menghindarinya hingga hal itu benar-benar terjadi.
·         Dari satu sisi, bahwa meninggalkan al-Muharamât adalah lebih utama dari melakukan perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.
·         Allah Ta'ala tidak membebankan taklif syar'i diluar kemampuan mukallaf dan dalam hal tertentu taklif tersebut berubah menjadi rukhshah/dispensasi sebagai kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya sedangkan dalam masalah larangan maka tidak ada keringanan apapun untuk melakukannya bahkan taklifnya harus dilakukan secara total kecuali dalam keadaan darurat dimana dimaksudkan bukan untuk bersenang-senang serta mengumbar hawa nafsu.
·         Diantara ciri-ciri umat-umat terdahulu adalah suka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan suka membantah Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan hal itulah sebagai penyebab hancur dan binasanya mereka. [7]
IV.             PENUTUP
Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.









DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam.  Juz. I
Al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah. Shahih Bukhari. Darul Fikri 1994.
An-Naisabury, Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy. Shahih Muslim. Riyadh: Darus Salam 1998
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/20/adab-bertanya-melaksanakan-perintah-dan-menjauhi-larangan/



[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/20/adab-bertanya-melaksanakan-perintah-dan-menjauhi-larangan/

[2] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy An-Naisabury, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam 1998)  hadist no. 1337 bab kewajiban haji sekali seumur hidup.
[3] Q.S. An-Nisa'/4: 176
[4] Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam.  Juz. I, hlm. 238-257
[5] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih Bukhari  (Darul Fikri 1994) hadist no. 7288.
[6] Ibid, hlm 253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar